Ada obrolan dengan anak mbarep yang
mengena banget buat saya hari ini. Tadi saya menemaninya tanding untuk turnamen
pencak silat. Kebetulan dia mewakili sekolahnya ikut turnamen. Saya mengambil
kesempatan mampir ke lokasi kejuaraan. Kan lumayan sekalian bisa nengok anak. Karena
jadwal penelponan anak-anak di asrama masih pekan depan. Dengan senang hati
saya menyempatkan mampir ke lokasi turnamen pencak silat yang ia ikuti. Dan saya ga menyesal sama sekali ini seharian kelelahan harus kesana-kemari untuk mengurus dua anak di asrama yang berbeda karena mendapat pelajaran berharga.
Kebetulan sebelum ke lokasi saya
sharing sedikit dulu di suatu komunitas. Setelah selesai acara baru saya
menengok anak. Ternyata kejuaraan pencak silatnya sudah berlangsung dari Sabtu
kemarin. Huhuhu. Dan saat itu ia sudah menang di sesi pertama. Alhamdulillah saya
bisa menemaninya tanding ke sesi ke-2. Dan alhamdulillah dia maju lagi ke per-4
final. Sayangnya saat sorenya ia tanding di per-4 final si sulung ini kalah.
Wajahnya terlihat lelah sekali. Dan ia
kemudian bercerita “ Aku malu e Mi kalau kalah gini”. Ia tersenyum lemah dengan
sedikit malu. Sebenarnya penampilan ke-3nya tadi bagus cuma memang ia belum
beruntung. Beberapa pointnya dianulir oleh wasit dan dibatalkan. Saya tahu
bagaimana perasaan si sulung saat itu. Karena bisa dibilang anak ini hampir
tidak pernah pulang tanpa gelar juara. Di semua pertandingan/kejuaraan silat
yang ia ikuti pasti mendapat gelar juara. Minimal juara 2/3. Bahkan rata-rata
kejuaraan yang dia ikuti selalu juara pertama. Maka wajar ia merasa malu.
Saya menanggapi ceritanya dengan
senyum. Dan saya bersyukur ia mau bercerita kegundahan hatinya dengan saya. Karena ada banyak anak remaja yang ga mau curhat dengan orangtuanya untuk sesuatu yang terhitung sensitif seperti ini. Dan saya bilang “ Ga perlu malu kalau orang kalah dengan jujur. Bahkan
sebenarnya permainan kamu tadi terhitung bagus meskipun performanya agak menurun
dari pertandingan sebelumnya. Tapi ga papa Bang. Kekalahan itu biasanya bikin
kita semangat lagi untuk menang di kejuaraan berikutnya”. Ia tersenyum lagi
menanggapi omongan uminya.
Membesarkan anak saat ia mendapat
kekalahan dan kegagalan itu pasti berat. Tapi anak-anak yang dikuatkan oleh
orang-orang terdekat pasti bisa melihat kesempatan lagi di depannya. Berbeda mungkin
dengan anak-anak yang saat ia kalah malah ditambah dengan hujatan atau celaan “
Kok kalah sih Bang” misal itu perkataan yang keluar dari lisan saya. Kalau saya
sendiri digituin mungkin langsung ga bakalan lagi ikut kejuaraan apapun. Hehehe.
Mutung semutungnya pokoknya. Hahaha.
Alhamdulillah setelah obrolan singkat
kami itu anaknya bisa tersenyum lagi. Dan ia bercerita bahwa bulan Oktober ini
dia akan mewakili sekolah lagi ikut kejuaraan pencak silat di Semarang. Lalu saya
semangati “ Besok di Semarang diperbaiki lagi Bang performanya”. "Iya Mi insya
Allah" katanya.
Dan setelah salat maghrib saya ajak
ia mampir Waroeng Steak. Lumayanlah emaknya merogeh kocek buat beliin anak itu
Beef steak. Hahaha. Melihat senyum yang kembali merekah rasanya semua lelah orangtua terbayar. Bahkan
ia meminta dibelikan cemilan untuk beberapa temannya yang ikut kejuaraan juga.
Sehat terus ya Nak. Jadi anak shalih.
Terus semangat tetap bersemangat belajar. Kemenangan itu bonus. Yang pasti ada
banyak pelajaran berharga yang ia dapat sejak ia aktif di olahraga pencak silat
ini. Badannya jadi bagus, rutin olahraga, tinggi badannya juga terhitung naik
cepat dan yang pasti ia jadi anak yang mandiri dan punya visi misi bagus karena
sering mengikuti kejuaraan. Dan semoga tahun depan ia bisa masuk kampus impiannya lewat jalur prestasi ini. aamiin. bantu doa ya netizen yang baik hati.
Yakopo yo ngajarin anak berkompetisi, lha anakku kuwalikane, kalah yowes lempeng wkwkwk.
BalasHapusEh tp emang sesekali anak merasa kecewa itu bagus yaaa, supaya tau kalau dunia gak hanya hal2 baik aja yang terjadi.
Semangat terus, semoga makin moncer prestasinya di masa mendataaang :D