Tahun 97 saya melanjutkan sekolah
ke Jogja. Bayangkan anak yang baru saja lulus SMP kemudian melanjutkan
pendidikan jauh dari orang tua. Berpindah pulau. Beruntungnya di Jogja ada
banyak sekali anak sekolah yang perantauan. Jadi saya punya banyak teman
senasib.
Ketika itu baru saja saya berjilbab. Saya
belajar tentang jilbab dari majalah Hidayatullah, Ummi dan majalah Annida.
Karena waktu itu jilbab belum popular di sekolah saya. Bahkan seingat saya saya
pernah hampir dikeluarkan dari sekolah karena memutuskan berjilbab. Bahkan harus
menandatangi surat pernyataan untuk jilbab saya tersebut. Alhamdulillahnya saya
kemudian melanjutkan sekolah ke Jogja. Di Jogja sudah banyak muslimah yang
berjilbab. Meskipun taklim-taklim belum banyak diadakan di sekolah dan kampus.
Hari itu saya janjian dengan empat
orang teman sekolah untuk ikut taklim yang membahas kitab Ighotsatul Lahfan-nya
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Taklim diadakan di sebuah masjid kampus. Pengajarnya
seorang ustadz yang baru saja pulang dari Pakistan. Ketika itu saya masih malu
untuk menyapa peserta kajian yang lain. Seorang akhwat berjilbab hitam dan
lebar merapat ke arah kami. Ia menyapa dan mengajak kenalan. Namanya Teh Elis. The
Elis lulusan sebuah pondok pesantren ternama di Jawa Tengah dan saat itu ia
melanjutkan di sebuah Universitas Islam di Yogyakarta. Dari situ perkenalan
berlanjut. Ia mengajak saya dan teman-teman bertemu di sebuah asrama mahasiswa
yang rutin mengadakan kajian keislaman. Sejak itu saya dekat dengan Teh Elis.
Saya belajar banyak hal dari beliau.
Buat saya dialah guru ngaji saya. Saya dipinjami banyak buku dan kitab
terjemahan. Dia menjadi murobbiyyah buat kami. Dialah yang mengingatkan ketika
kami melakukan kesalahan dan menguatkan ketika kami lemah. Dialah guru tempat
saya berbagi banyak hal dan mengambil banyak hal.
Teh Elis yang menemani saya keluar
masuk pasar BeringHarjo hanya untuk mencari kain ukuran 150 x 150 untuk dibuat
jilbab segi empat. Karena pada zaman itu jarang ada yang menjual jilbab ukuran
lebar. Teh Elis yang menemani saya daurah di banyak tempat. Dia guru saya yang
banyak banget jasanya dalam keislaman saya. Semoga Allah selalu menjaganya
dalam ketaatan dan melindunginya dari perbuatan keji dan mungkar.
Teh Elis sebenarnya bukan orang yang
sempurna. Kakinya (cacat) sebelah karena polio. Tetapi dari teh Elis saya
belajar bahwa begitulah seharusnya seorang muslimah bertingkah laku. Yang saya
ingat betul dari perkataannya adalah bahwa “ Ketaatan itu bercahaya, ia akan
memberi ketenangan baik pada diri sendiri dan orang-orang di sekitar. Amal itu
harus disertai ilmu dan ilmu itu harus diikuti dengan akhlak yang baik. Dan
setiap kataatan akan berbuah dan begitu pula sebaliknya kemaksiatan akan
berbuah”. Nasihat-nasihat itu saya pegang sampai hari ini. Saya jaga betul agar
hidup saya selalu berusaha di atas ketaatan pada Allah dan menjauh sejauh
mungkin dari maksiat dan malu jika melakukan perbuatan maksiat.
Itulah yang selalu saya ulang-ulang
saya katakan pada akhwat-akhwat binaan di kampus. Muslimah itu tiang peradaban
agama dan Negara. Jika ia rusak maka rusaklah peradaban. Salah satu yang
menjaga kehormatan seorang muslimah adalah rasa malu. Jika hilang rasa malu
sudahlah…. Kadang sedih jika melihat komen-komen akhwat zaman now di
status-status para selebritis muslim hari ini. Ucapan semacam “ halalin aku
dong” dan sejenisnya bertabur dimana-mana. Dan kalau di cek profilenya
penampilannya berjilbab lebar bahkan bercadar. Mereka menisbahkan diri pada
bunda Khadijah yang meminta dinikahi Rasulullah. Tetapi mereka ga baca sirah-nya
langsung. Khadijah memang meminta dinikahi oleh Rasulullah tetapi dengan cara
terhormat melalui perantara dan menjaga rasa malu yang luar biasa.
Hari ini banyak muslimah yang
penampilan luarnya berjilbab lebar dan bercadar tetapi kehilangan rasa malunya.
Bahkan barusan kemarin seorang sahabat mengirimi saya screenshoot dari
instastory seorang muslimah bercadar yang instastory-nya di IG tidak bercadar
dan tidak berjilbab. Teman saya mengingatkan saya untuk tidak merasa bersalah karena pernah menegur perempuan tersebut. La haula wala Quwwata Illa billah. Bayangkan dengan
beraninya memajang di instastory video saat ia melepas cadar dan jilbabnya. Sahabat saya bilang, jika perempuan itu ingin menginjak kemuliaan cadar dengan perbuatannya " congratulation!" kamu sukses.
Benar ketika seorang teman penulis menulis “ Memakai Jilbab hari ini bukan lagi
pergulatan batin seperti tahun 90-an. Saat ini memakai jilbab lebar dan cadar
kebanyakan hanya berkaitan dengan isi dompet”. Saya ingin menyanggah tetapi
lisan saya kelu. Karena kenyataan di masyarakat memang hampir benar seperti
itu. Saya tidak tahu dimana 'missing link" nya pentarbiyahan akhwat-akhwat hari ini. Ini jadi pe-er besar para murabbiyyah hari ini.
Ya Allah, jagalah muslimah-muslimah yang menjaga diri mereka dan
kehormatan mereka. Jagalah muslimah yang benar-benar ingin belajar islam secara
total bukan karena ingin terlihat taqwa di hadapan manusia. Seperti kata guru
ngaji saya tadi “ Sungguh ketaatan itu
bercahaya”.
Ya Allah, indaaaahh sekali mbaaa
BalasHapus--bukanbocahbiasa(dot)com--
Salam buat Teh Elis, ya Mba
BalasHapus