Ada kelegaan luar biasa saat saya
menyelesaikan sidang thesis di hadapan penguji. Rasanya plong. Mudah-mudahan
rasa plong itu karena bisa mendapatkan pembelajaran luar biasa dari kuliah
pasca sarjana bukan plong karena ‘akhirnya’ proses belajar/sekolah ini selesai. Dua hal yang
berbeda lo ini. Ada beberapa orang yang setelah selesai skripsi atau thesis
kemudian memutuskan “Udahlah, ga usah sekolah lagi. Capek ternyata sekolah itu”. Lega karena akhirnya mendapat ijazah, bukan lega karena akhirnya mendapat pencerahan dari apa yang dipelajari dan bersemangat untuk mengungkap hal lain yang ada di tumpukan ilmu di depan lagi (S3).
Kenyataannya berbeda dengan anak-anak
SD atau SMP yang saat lulus kemudian bersemangat mencari sekolah baru. Seharusnya
begitulah semangat ‘Belajar sepanjang hayat’. Ada kutipan bagus yang saya
ambil dari catatannya pak Nino Aditomo di instagram. Beliau adalah Kepala Badan Standar, Kurikulum Dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud RI saat ini. Dan beliau menjelaskan sedikit tentang
buku yang beliau baca, The Joys of Compounding: The Passionate Pursuit of
Lifelong Learning.
“ It is that we have a short time to live, but that we waste a lot of it…. When it is wasted in heedless luxury…. We are forced at last by death’s final constraint to realize that it has passed away…”
Cara paling bermakna untuk menjalani
hidup adalah dengan belajar tentang hal yang menjadi renjana (passion) kita. Dengan
syarat kita bisa menemukan proses menikmati dalam belajar. Seharusnya bagi pembelajar
sepanjang hayat selalu ada kenikmatan saat bertemu hal-hal baru yang ingin kita
ketahui. Seharusnya bagi pembelajar sepanjang hayat aktivitas belajar menjadi
sumber kebahagiaan. Sumber well being dan kesehatan mental.
Tak heran jika kita melihat gelar
pembelajar sepanjang hayat ini sampai diabadikan kepada para ulama. Dan Rasulullah
sendiri mengingatkan kita kaum muslimin untuk menjadi pembelajar sepanjang
hayat. Banyak riwayat-riwayat shahih bagaimana kenikmatan para ulama saat
belajar.
Ada kenimatan dan kepuasaan luar
biasa bagi para pembelajar sepanjang hayat ini saat mereka menemukan kajian
baru untuk hal yang memberikan jawaban-jawaban untuk banyak permasalahan untuk
hal-hal yang menjadi passion-nya. Tak heran jika ditanya apa makna ILMU.
Penjelasan ulama sederhana sekali “Al-“ilmu Idraka syai bihaqiqotihi”. Ilmu
adalah memahami sesuatu sampai ke hakikatnya. Dan mau ga mau ini memaksa kita
menjadi pembelajar sepanjang hayat. Tak heran banyak para penuntut ilmu yang
terus sekolah sampai mereka menua. Para professor terus mengkaji banyak
keilmuan dan menganalisa dan menyampaikannya kepada umat.
Saya teringat pesan seorang professor
saya di kampus. Hendaklah para penghafal qur’an itu terus belajar minimal
sampai mereka doktoral agar pengkajian keilmuan itu terus menjadi tradisi kaum
muslimin dan umat manusia. Agar benar-benar terwujud “ Idraka syai
bihaqiqiotihi”.
Dan kenikmatan belajar ini lah yang
seharusnya kita wariskan kepada anak-anak. Kenikmatan belajar sepanjang hayat
inilah yang seharusnya ditumbuhkan kepada anak-anak kita. Agar mereka selalu
antusias mempelajari ilmu baik hal baru maupun kajian mendalam untuk hal-hal
yang ingin mereka ketahui lebih lanjut. Karena pada dasarnya belajar itu nikmat dan menyenangkan. Serius ini. Makanya saya selalu menyarankan mereka-mereka yang patah hati " Kuliah meneh kono". Karena kalau patah hati atau dapat musibah mending belajar yang angel-angel sisan le mumet. Pas patah hata lanjut S2/S3 teknik nuklir atau matematika murni ngono. Pasti patah hatinya hilang. Hahaha
Semoga ada kesempatan bagi saya bisa lanjut belajar lagi ya. aamiin. Semoga semangat pembelajar sepanjang hayat ini selalu menyala
MasyaAllah. Pesan yang Mba tuliskan sungguh mengingatkan saya pada pesan dari kedua orangtua yang hingga hari ini masih terus menerus menagih agar saya bisa melanjutkan jenjang pendidikan strata dua. Benar adanya, sederhananya. "jadikan belajar akan sesuatu menjadi sebuah kesenangan, kenikmatan, dan haus akan pengetahuan baru kemudian mempelajarinya." MasyaAllah. Beruntung sekali saya berkunjung ke mari. Terima kasih banyak, Mba.
BalasHapus